MATASEMARANG.COM – Mayoritas pekerja di Indonesia hanya bisa menikmati gaji setara upah minimum provinsi (UMP). Bahkan, tidak sedikit yang di bawah itu. Data BPS 2023 mencatat ada sekitar 52,7 juta pekerja berstatus buruh/karyawan/pegawai.
Namun, dari jumlah tersebut, sekitar 24,84 juta orang (47,13%) menerima gaji di bawah UMP. Jadi, hanya sekitar 27,86 juta orang (52,87%) menerima gaji di atas UMP. Setiap tahun memang mengalami sedikit kenaikan. Rata-rata UMP di Indonesia pada 2025 sedikit di atas Rp3 juta per bulan. Upah sekecil itu sesungguhnya hanya didesain untuk bertahan hidup (survival), bukan untuk sejahtera.
Dengan upah serendah itu, mereka masih harus menanggung biaya tempat tinggal/KPR, biaya makan, bayar listrik, gas, air, bensin sepeda motor, hingga pulsa HP. Bila gagal mengencangkan ikat pinggang secara ekstrem, kaum medioker ini akan mudah terjerat rentenir digital alias pinjol. Tentu saja bunganya mencekik.
Melihat besaran pendapatannya, rata-rata mereka tinggal di permukiman dengan ikatan sosial yang lebih “kuat”, tepatnya serbarikuh. Akan tetapi, ikatan sosial ini justru sering menjadikan biaya sosial mereka sulit terkontrol.
Anak tetangga sunat, sakit, tilik bayi, jagong manten, arisan, hingga beragam iuran lingkungan. Secara akumulasi, jumlahnya bisa memangsa anggaran rumah tangga yang besar dengan ukuran pendapatan UMP.
“Kalau sebulan dapat undangan perkawinan lima saja, itu rasanya kayak dibegal,” sindir komika Didi “Kuli Bangunan”.
Di Jepara, Kudus, dan Grobogan, misalnya, ada tradisi pria dewasa menyumbang rokok untuk shohibul hajat. Besaran sumbangannya bukan bungkus, melainkan slop (isi 10 bungkus).
Rokok ini semacam mata uang tandingan yang bebas tergerus inflasi. Mengapa? Karena setelah menerima sumbangan berslop-slop, mereka menjual ke toko kelontong/grosir. Dengan demikian, shohibul hajat mendapatkan nilai tukar aktual. Karena harga jual hari ini lebih tinggi daripada beberapa tahun lalu.
Maryanto, warga Grobogan, bercerita ketika punya anak ia disumbang tetangganya satu slop rokok jenis mild premium. Dulu harganya masih Rp210.000/slop. Namun, saat ini ia harus mengembalikan dengan merek dan jumlah yang sama. Masalahnya, harga rokok mild premium sekarang sudah di atas Rp350.000!
“Padahal bulan lalu (Juni 2025) ada tiga undangan,” keluh pekerja di bidang wedding organizer itu. Bagi dia, keluar Rp1 juta untuk menyumbang pada saat ini sungguh jumlah yang besar di tengah sulitnya mencari tambahan penghasilan.
Sebagai orang yang memang sejak kecil tinggal di kampung itu hingga sekarang, rasanya mustahil bagi Maryanto melawan tradisi saling mengembalikan sumbangan.
Modal Sosial
Rasanya dalam ikatan sosial yang masih “kuat” atau rikuh, kalau tidak menyumbang setara yang dulu mereka terima, itu menjadi beban. Namun, ia–juga yang lain–tidak ada pilihan, kecuali datang memenuhi undangan dan menyumbang. Berani melawan tradisi itu berarti siap-siap jadi objek rerasan. Bahkan diam-diam bisa mengalami pengucilan sosial. Dalam situasi seperti ini, sungguh ikatan sosial itu justru malah bikin klenger kaum medioker.
Sebenarnya ikatan sosial itu–meminjam pemikiran Francis Fukuyama–bisa menjadi modal sosial, yang memungkinkan terjalin jaringan hubungan sosial, norma, dan nilai-nilai kerja sama untuk meraih tujuan bersama yang lebih produktif. Produktif bukan hanya di bidang ekonomi, melainkan juga mempekokoh ikatan sosial yang autentik, bukan menyimpan bara yang menjadi asupan rerasan di antara sesama.
Masalahnya, siapa yang berani mengoreksi tradisi? ***
Kaum Medioker yang Kian “Klenger”
