Dari sudut pandang hukum positif, apabila seseorang memberikan mahar berupa cek pada saat akad nikah, maka mahar tersebut belum dapat dianggap telah dibayar secara riil sebelum cek itu diuangkan.
Ini menimbulkan pertanyaan: apakah pernikahan tersebut sah jika mahar yang diberikan berupa cek yang belum diuangkan? Dalam praktik Kantor Urusan Agama (KUA), mahar dalam bentuk cek biasanya tetap diterima, selama ada kejelasan nilai dan kesepakatan dari kedua belah pihak.
Namun dari perspektif kehati-hatian hukum, ada baiknya memastikan bahwa cek tersebut dapat dicairkan dan memiliki dana yang cukup (funded).
Jika cek tersebut ternyata kosong atau tidak dapat diuangkan, maka dapat menimbulkan sengketa hukum, karena dianggap sebagai wanprestasi terhadap janji pemberian mahar.
Dalam hal ini, pihak istri dapat mengajukan gugatan atau permohonan hak terhadap mahar yang dijanjikan namun tidak ditepati.
Secara fiqh (ilmu hukum Islam), sah tidaknya mahar dalam bentuk cek tergantung pada niat dan kesepakatan.
Jika cek tersebut memang diserahkan secara ikhlas dan diterima oleh pihak perempuan, maka sah akad nikahnya.
Namun secara substansi, status pembayarannya tidak termasuk tunai dalam arti sesungguhnya, karena pihak istri belum menerima bentuk mahar secara nyata dan langsung.
Lebih jauh lagi, penggunaan cek sebagai mahar membawa dimensi hukum perdata dan perbankan ke dalam ranah perkawinan.
Artinya, jika terjadi permasalahan dalam pencairan cek tersebut, maka penyelesaiannya tidak hanya melibatkan hukum keluarga, tapi juga bisa masuk dalam ranah perdata umum atau bahkan pidana, jika ada unsur penipuan atau cek kosong yang disengaja.