Dalam prosesnya, media tidak terjebak dalam narasi “kekacauan versus ketertiban” yang sering kali dimanipulasi untuk mendelegitimasi tujuan aksi protes atau demonstrasi. Sebaliknya, mereka memfokuskan wacana publik pada substansi tuntutan: reformasi DPR dan penyelenggara negara, akuntabilitas aparat, serta keadilan ekonomi.
Hasil studi Monash Data and Democracy Research Hub, dari Monash University yang dirilis 4 September lalu menyatakan polarisasi kelas dan anti-elit politik tidak muncul begitu saja di unjuk rasa publik kali ini, namun merupakan refleksi ketegangan kelas sosial yang sudah ada sejak lama.
Selama periode protes 25–31 Agustus 2025, percakapan daring di media sosial dan berita dipenuhi oleh dinamika emosi yang kuat. Menurut studi Monash University yang meneliti 13.780 unggahan unik, ditemukan bahwa meskipun mayoritas (70,9 persen) bersifat non-toksik, ada proporsi signifikan (29,1 persen) yang terindikasi toksik. Peningkatan tajam dalam toksisitas ini tercatat pada 28–30 Agustus, sebuah pola yang mencerminkan meningkatnya kekerasan dalam aksi unjuk rasa di Jakarta dan di sejumlah daerah.
Di era fabrikasi kebenaran, di mana narasi tandingan yang memecah belah dapat dengan mudah diciptakan, tindakan media arus utama ini berfungsi sebagai benteng. Media menyajikan kepada publik sebuah kebenaran yang koheren dan terverifikasi, sebuah daftar tuntutan konkret yang bisa dilacak dan ditagih, sebagai jangkar di tengah badai informasi.
Jurnalisme empati
Narasi ini diperkuat oleh sebuah pemicu emosional yang kuat: insiden tragis yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, oleh kendaraan taktis aparat. Media tidak hanya melaporkan fakta kematiannya, tetapi juga membingkainya sebagai simbol dari impunitas dan kekerasan negara.