Oleh Dr. M.Lucky Akbar*
MATASEMARANG.COM – Mendung duka menggelayuti dunia ekonomi dan politik Indonesia, setelah salah satu putra terbaik bangsa, Kwik Kian Gie, pulang menghadap Sang Pencipta dalam usia 90 tahun pada Senin malam, 28 Juli 2025.
Kwik Kian Gie merupakan seorang ekonom senior yang pernah menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas di era Abdurrahman Wahid, lalu Menteri Koordinator Perekonomian pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Selain itu, ia pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung serta Dewan Perwakilan Daerah.
Kiprahnya yang mencakup masa Orde Baru hingga era Reformasi di dunia politik dan ekonomi Indonesia, menjadikan Kwik Kian Gie sebagai salah satu pemikir dan ideolog di negeri ini.
Kwik bukan sekadar ekonom. Ia adalah representasi dari intelektual publik yang tak pernah berhenti berpikir, berbicara, dan bertindak atas dasar kebenaran, sekalipun harus berhadapan dengan arus kekuasaan dan kenyamanan status quo.
Sepanjang kariernya, ia konsisten menolak liberalisasi ekonomi yang berlebihan dan kerap mengkritik campur tangan asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan di masa tuanya, Kwik masih aktif menulis, mengajar, dan menyuarakan pendapatnya lewat forum-forum akademik maupun media sosial.
Suara Kritis di Masa Krisis
Ia lahir pada 11 Januari 1935 di Juwana, Jawa Tengah. Kwik adalah potret dari generasi intelektual tempaan kerja keras dan pencarian ilmu yang tak henti. Ia menempuh pendidikan di Nederlands Economische Hogeschool, Rotterdam (sekarang Erasmus University). Sebuah institusi bergengsi yang memperkuat pijakan keilmuannya di bidang ekonomi.
Sekembalinya ke Indonesia, Kwik mendirikan Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FEUI), yang menjadi kawah candradimuka bagi banyak ekonom dan manajer muda Indonesia. Di sinilah pengaruh keilmuan dan moralnya mulai tumbuh dan menyebar.
Saat krisis moneter 1997–1998 menghantam Indonesia, suara Kwik menjadi salah satu yang paling nyaring mengkritisi kebijakan IMF dan pendekatan neoliberal yang justru menambah derita rakyat. Ia menyuarakan pentingnya kedaulatan ekonomi dan solusi yang berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar mengikuti resep luar.
Keterlibatannya dalam Tim Ekonomi Megawati sejak awal reformasi menjadi bukti bahwa ia tak hanya mengkritik dari luar, tetapi siap bertanggung jawab dari dalam sistem.
Kwik pernah menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (1999–2001) di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, dan kemudian menjadi Menteri Koordinator Perekonomian (2001–2004) di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Di dua posisi strategis ini, ia mempertahankan konsistensi sikap: menolak privatisasi BUMN secara membabi buta, mendorong renegosiasi utang luar negeri, dan menekankan efisiensi anggaran pembangunan.
Salah satu keberhasilannya adalah menyusun Rencana Pembangunan Nasional dengan pendekatan partisipatif yang progresif. Ia juga turut mengawal pembentukan sistem monitoring evaluasi proyek pemerintah berbasis kinerja.
Guru Besar Ekonomi UI, Prof. Sri Edi Swasono, pernah menyebut Kwik sebagai “intelektual sejati yang tak silau kekuasaan dan tak goyah oleh tekanan politik.” Sementara ekonom Faisal Basri dalam wawancara mengenangnya mengatakan, “Pak Kwik adalah benteng terakhir dari suara nurani ekonomi Indonesia.”
Bahkan Rizal Ramli, tokoh reformasi ekonomi lainnya, mengakui bahwa dalam banyak perdebatan, Kwik selalu berpegang pada argumentasi yang berbasis data dan logika, bukan kepentingan politik. Banyak kalangan melihat bahwa Kwik berperan sebagai jembatan antara ilmu dan kebijakan.
Pemikir yang Membumi
Kwik tidak percaya bahwa ekonomi semata-mata adalah soal angka. Dalam berbagai tulisannya, ia kerap mengkritik model pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan (growth) tanpa distribusi yang adil.
Ia menyebut “ekonomi pasar” tanpa pengawasan sebagai jalan menuju ketimpangan yang lebih dalam.
Selanjutnya Kwik juga aktif memperjuangkan ekonomi yang lebih etis, inklusif, dan berkeadilan sosial. Gagasannya tentang pengendalian modal asing, perlindungan terhadap sektor informal, serta nasionalisasi sektor strategis, menjadi warisan pemikiran penting di tengah arus liberalisasi ekonomi global.
Setelah tidak lagi menjabat, Kwik tetap menulis dan aktif memberi masukan. Ia rajin menulis kolom di media nasional, tampil di forum diskusi, dan tak jarang memberi kritik keras terhadap kebijakan pemerintah. Ia menolak diam, bahkan ketika suaranya terdengar minoritas.
Kwik pernah menulis buku berjudul “Mengapa Ekonomi Indonesia Begini-Begini Saja?” yang menjadi cermin reflektif atas kegagalan banyak kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat. Buku itu hingga kini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa dan pengamat ekonomi.
Melalui gaya bahasa yang lugas dan awam mudah pahami, Kwik mengupas berbagai kebijakan ekonomi makro yang menurutnya gagal menjawab kebutuhan mayoritas rakyat, khususnya kelompok miskin dan kelas menengah ke bawah.
Ia mempertanyakan logika di balik pembangunan yang terus menerus mengejar pertumbuhan (growth), tetapi mengabaikan pemerataan (equity). Ia juga menyinggung tentang ilusi pembangunan yang negara bangun di atas utang luar negeri dan ketergantungan pada investasi asing, yang justru membuat Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal.
Buku ini menjadi bacaan penting di berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, akademisi, pengamat ekonomi, dan bahkan pembuat kebijakan. Sebab, isinya mengajak pembaca untuk berpikir kritis dan mempertanyakan arah serta esensi dari kebijakan ekonomi nasional yang selama ini dijalankan.
Lebih dari sekadar kumpulan kritik, buku ini juga menawarkan pendekatan ekonomi alternatif yang lebih membumi, berdaulat, dan berkeadilan sosial. Oleh karena itu, hingga kini buku tersebut masih relevan dan kerap dijadikan referensi dalam diskusi-diskusi ekonomi yang memperjuangkan keberpihakan terhadap rakyat banyak
Menghidupkan Teladan
Kwik Kian Gie adalah sedikit dari tokoh bangsa yang mampu merawat integritas di sepanjang hidupnya. Ia menolak menjadi bagian dari sistem yang tak bisa ia setujui secara moral. Bahkan ketika diminta kembali masuk kabinet oleh presiden berikutnya, ia menolak karena tidak ingin menjadi simbol tanpa kuasa.
Keberanian untuk mengatakan tidak, kejujuran untuk menerima kritik, dan konsistensi dalam berpikir serta bertindak menjadikan Kwik sosok langka di tengah dunia yang penuh kompromi. Pemikirannya tak hanya bergema di ruang akademik, tetapi juga membekas di hati rakyat kecil yang merasa diperjuangkan.
Kini, ketika Indonesia menghadapi tantangan besar mulai dari ketimpangan sosial, krisis kepercayaan publik, hingga tekanan geopolitik global, teladan dari seorang Kwik Kian Gie menjadi sangat relevan. Kita membutuhkan lebih banyak intelektual yang tidak hanya pintar, tetapi juga berani dan jujur.
Kwik menunjukkan bahwa ilmu ekonomi bisa menjadi alat perjuangan, bukan sekadar alat penghitungan. Kwik telah berpulang, tapi semangat dan warisannya akan terus hidup terutama di ruang-ruang diskusi, di kepala generasi muda, dan di hati mereka yang masih percaya bahwa politik dan ekonomi bisa dijalankan dengan nurani.
Selamat jalan, Pak Kwik. Terima kasih atas keteguhan, pemikiran, dan keteladananmu. Indonesia tak akan melupakanmu. (Ant)
*) Dr. M.Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Suara Nyaring dari Angka dan Nurani Kwik Kian Gie
