Jika tujuannya adalah “perdamaian yang adil” yang dihormati oleh Ukraina, Rusia, dan Uni Eropa, maka penyelesaian apa pun harus memperhatikan tidak hanya wilayah tetapi juga kedaulatan, keamanan, dan prinsip-prinsip hukum internasional. Tanpa partisipasi dan persetujuan Ukraina, perjanjian apa pun akan menghadapi masalah legitimasi dan tantangan implementasi ke depannya.
“Folly” Baru
Belum lagi bila ternyata hasil dari pertemuan di Alaska akan menghasilkan “folly” atau kebodohan baru, di mana hasil yang ada akan dapat sangat merugikan salah satu pihak, bisa itu AS, Rusia, atau Ukraina/Eropa.
Dalam skenario yang berujung kepada “Putin’s Folly”, yaitu bila Putin meninggalkan Alaska dengan kesepakatan yang tampaknya menguntungkan di atas kertas tetapi ternyata malah mengikis kekuatan Rusia dalam penerapannya.
Hal itu dapat berbentuk janji pencabutan sanksi terhadap Rusia pada awalnya tetapi kemudian ditunda, serta NATO berhasil memperkuat sayap timurnya serta Ukraina mengamankan jaminan keamanan yang kuat dari negara-negara Barat.
Kemudian, bagaimana bila hasilnya malah berujung kepada “Trump’s Folly”, yaitu saat Trump membuat kesepakatan yang mengasingkan AS dari sekutu-sekutu Eropa, melemahkan persatuan NATO, dan memberikan konsesi substansial kepada Rusia tanpa komitmen yang dapat diverifikasi sebagai imbalannya.
Ke depannya bila ini terjadi, maka AS dapat disalahkan karena melegitimasi agresi sembari gagal mengamankan perdamaian yang langgeng.
Lalu, bisa saja bila hasilnya berujung kepada “Zelensky’s Folly”, yaitu terjadinya sebuah kompromi Trump-Putin yang benar-benar melemahkan Ukraina, misalnya dengan penyelesaian yang dipaksakan tanpa persetujuan penuh Kiev untuk menyerahkan wilayah secara permanen kepada Rusia dengan imbalan janji-janji perdamaian yang samar.