Masalahnya, capaian jumlah penumpang pada 2024 hanya sekitar 6 juta orang, jauh dari target 31 juta penumpang per tahun.
“Kinerja okupansi yang hanya seperlima dari target jelas mengkhawatirkan. Jika dibiarkan, utang infrastruktur tidak akan terbayar, bahkan bisa merembet pada kesehatan BUMN lain dalam konsorsium,” tuturnya.
Ia mengingatkan bahwa beban proyek Whoosh bukan hanya tanggungan PT KAI, melainkan juga PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara I yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia.
“Masalah ini harus ditangani serius agar tidak menimbulkan efek domino ke seluruh ekosistem BUMN. Lebih jauh lagi, kerugian berkelanjutan bisa menggerus kepercayaan investor asing terhadap iklim investasi di Indonesia,” kata Firnando.
Firnando menegaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Danantara harus hadir dengan solusi konkret yang melindungi kesehatan keuangan PT KAI dan konsorsium BUMN lainnya.
“Pekerjaan rumah terbesar PT KAI saat ini adalah menyelamatkan Whoosh. Jika persoalan ini berhasil diurai, maka kinerja bisnis PT KAI yang selama ini sudah mendapat apresiasi dari masyarakat dapat terus berkembang. Kita butuh ide-ide brilian dan keputusan cepat agar beban utang kereta cepat tidak berubah menjadi krisis BUMN,” tuturnya. (ant)