Data dari KemenP2MI menunjukkan bahwa pekerja migran non-prosedural sering kali menjadi korban eksploitasi, mulai dari penipuan oleh calo, upah yang tidak dibayar, hingga kasus yang lebih serius seperti perdagangan manusia.
Berbeda dengan pekerja migran resmi, yang keberangkatannya diatur melalui perjanjian kerja, jaminan sosial, dan pengawasan hukum, pekerja non-prosedural tidak memiliki perlindungan dasar ini.
“Pekerja resmi hampir tidak pernah menimbulkan masalah serius karena sistemnya sudah jelas. Yang non-prosedural justru rentan karena ketidaktahuan mereka tentang prosedur yang benar,” tegasnya.
Fenomena ini tidak terlepas dari tantangan struktural, seperti kurangnya literasi migrasi di kalangan masyarakat, akses terbatas ke informasi resmi, dan praktik calo yang memanfaatkan ketidaktahuan calon pekerja migran.
Untuk itu, Mukhtarudin menekankan pentingnya sosialisasi kampanye migrasi aman yang masif, dengan media sebagai ujung tombak penyampaian pesan kepada masyarakat luas.
Sistem Penempatan Terintegrasi: Solusi dari Hulu ke Hilir
Guna mengatasi masalah ini, KemenP2MI sedang merancang sistem penempatan pekerja migran yang terintegrasi, mencakup seluruh rantai proses migrasi, mulai dari pelatihan pra-keberangkatan, penempatan di negara tujuan, hingga pemberdayaan pekerja migran yang kembali ke tanah air (purna migran).
Sistem ini melibatkan kolaborasi lintas sektoral dengan 12 kementerian dan lembaga vokasi, serta kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memperkuat diplomasi perlindungan di negara tujuan.
“Kami ingin pekerja migran Indonesia tidak hanya berangkat dengan aman, tetapi juga pulang dengan martabat. Mereka harus punya keterampilan yang kompetitif, sehingga bisa berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional,” ujar Mukhtarudin, menggemakan arahan Presiden yang menekankan pentingnya pekerja migran terampil.
















