Selain itu, data-data kecerdasan buatan yang saat ini digunakan masih berpedoman pada model yang dibuat negara pengembangnya seperti Amerika Serikat, sehingga nilai-nilai yang dianut adalah yang ada di barat.
Alhasil, data AI yang dihasilkan bias dengan apa yang menjadi budaya masyarakat di luar Amerika termasuk stereotyping terhadap kelompok-kelompok tertentu, ras tertentu, bangsa.
“Jadi itu membuktikan ya ada upaya untuk melakukan filtering dan lain sebagai macamnya sesuai dengan kepentingan yang ada,” tuturnya.
Menurut Nezar, ada tiga tantangan utama dalam transformasi digital Indonesia yang harus segera diatasi untuk bisa menjadi negara yang berdaulat digital yakni kesenjangan infrastruktur digital, ancaman serangan siber dan defisit talenta digital.
Bahkan, Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital pada 2030, namun masih kekurangan 2,7 juta. Kesenjangan ini bisa menghambat seluruh proses transformasi.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pengembangan talenta digital menjadi hal yang sangat penting untuk menuju kedaulatan digital Indonesia. Ia yakin jika Sumber Daya Manusia-nya berkualitas, maka keterbatasan infrastruktur bisa ditaklukkan untuk membuat inovasi-inovasi dalam kemajuan teknologi digital.
“Sekali lagi talenta digital ini menurut saya proyek nomor satu, infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukkan keterbatasan itu. China membuktikan itu dengan keterbatasan, begitu juga India juga dengan talenta-talenta yang baik mereka bisa lebih maju dalam adopsi teknologi digital ini,” tutur Nezar.