Peran Media Arus Utama di Era Fabrikasi Kebenaran

MATASEMARANG.COM – Gejolak sosial yang melanda Indonesia pada periode Agustus hingga awal September 2025 menandai sebuah babak baru dalam artikulasi aspirasi publik. Di tengah riuh rendahnya aksi massa dan ketegangan politik, muncul satu fenomena yang mendefinisikan ulang lanskap aktivisme warga: “17+8 Tuntutan Rakyat”.

Gerakan ini bukan sekadar daftar tuntutan, melainkan situasi nyata bagaimana sebuah narasi terstruktur mampu membelah kabut disinformasi, lantas memaksa institusi negara untuk mendengar. Namun, efektivitas dan keberhasilannya tentu tidak berdiri tunggal.

BACA JUGA  Belajar dari Blunder Bupati Pati

Di era fabrikasi kebenaran, di mana hoaks dan opini publik dapat dikonstruksi untuk membiaskan fakta esensial, muncul pertanyaan krusial, bagaimana gerakan ini mampu mencapai koherensi dan legitimasi nasional di waktu yang pendek?

Bacaan Lainnya

Jurnalis, sekaligus pemikir Walter Lippmann, lewat buku Public Opinion (1922), mengelaborasi konsep fabrikasi persetujuan (manufacture of consent). Menurutnya, elite politik sengaja menyederhanakan dan memfabrikasi kebenaran untuk membentuk persepsi umum, demi mengarahkan opini dan mendapatkan persetujuan publik.

BACA JUGA  Belanja, Pamer, Buang

Gagasan tersebut kemudian diperdalam Noam Chomsky dan Edward Herman dalam karyanya Manufacturing Consent (1988), di mana model propaganda tersentralisasi di pemilik modal dan elit politik. Selanjutnya “kebenaran” yang sampai ke publik merupakan produk hasil seleksi dan konstruksi yang sistematis.

Ketika percakapan demokratis di media sosial ada pihak tersudut, biasanya akan muncul upaya meredamnya, baik dengan mengalihkan isu lewat trending topic maupun serangan siber berupa caci maki massal (troll bombing).

Pos terkait