MATASEMARANG.COM – Setelah sempat menjadi primadona di kalangan urban dan komunitas kreatif, tren olahraga padel di Indonesia kini mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Meski masih eksis di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bali, dan Bandung, geliatnya tak lagi sekuat saat awal booming pada 2020–2023.
Berikut ini beberapa alasan kenapa tren padel mulai turun di Indonesia:
Euforia Awal yang Terlalu Cepat
Padel pertama kali masuk ke Indonesia melalui ekspatriat dan pelajar yang mengenalnya dari Eropa dan Amerika Latin.
Popularitasnya melonjak cepat, terutama karena dianggap sebagai olahraga yang mudah dimainkan, minim kontak fisik, dan cocok untuk gaya hidup sosial.
Namun, pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa fondasi komunitas yang kuat membuat tren ini rentan jenuh.
Biaya Bermain yang Relatif Tinggi
Berbeda dengan olahraga rakyat seperti futsal atau bulu tangkis, padel membutuhkan lapangan khusus, raket khusus, dan biasanya dimainkan di fasilitas premium.
Biaya sewa lapangan dan perlengkapan bisa menjadi penghalang bagi masyarakat umum untuk menjadikannya rutinitas.
Sewa lapangan padel di Jakarta bisa mencapai Rp 300.000–Rp 500.000 per jam. Raket padel berkualitas dibanderol mulai dari Rp 1 juta ke atas.
Kelebihan Pasokan Lapangan dan Minimnya Pemain Aktif
Fenomena yang terjadi di Swedia menjadi cerminan: saat euforia padel melanda, banyak investor membangun lapangan secara masif.
Namun, ketika minat mulai menurun, lapangan-lapangan tersebut menjadi sepi dan tidak lagi menguntungkan.
Indonesia mulai mengalami gejala serupa, terutama di kota-kota yang membangun fasilitas padel tanpa strategi komunitas atau kompetisi berkelanjutan.