MATASEMARANG.OM – Kebijakan Bupati Pati Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) memang bermaksud untuk menambah kas daerah. Dengan tambahan dana dari pos PBB-P2 maka bisa menambah pula fasilitas layanan publik, seperti rumah sakit dan lainnya.
Namun, melihat gaya berkomunikasi Bupati Sudewo seperti terunggah di media sosial, ada kesan mantan anggota DPR ini arogan, bahkan menantang rakyat. Ancaman warga akan berdemo, ia balas dengan gertakan balik, “Jangankan 5.000 orang, 50.000 orang pun kami hadapi.”
Seperti bola salju yang menggelinding deras dan terus membesar, isu kenaikan PBB-P2 tidak lagi mengentak Pati saja. Isu ini meluas ke ranah nasional melalui media sosial. Bahkan Mendagri Tito Karnavian pun ikut angkat suara.
Mengapa kebijakan pejabat publik yang bertujuan baik tidak selalu diterima dengan baik pula?
Setiap kebijakan yang menambah beban/pengeluaran masyarakat selalu sensitif. Isu ini mudah menyulut protes, kemarahan, hingga aksi turun ke jalan. Di sinilah komunikasi pejabat publik menjadi salah satu poin penting. Kebijakan ini harus dijelaskan secara transparan, persuasif, dan membuka ruang dialog, alih-alih represif.
Memang benar bahwa pejabat publik dalam setiap kebijakan berlandaskan hukum. Namun, dalam tatanan demokrasi, itu belum cukup. Komunikasi kepemimpinan bukan sekadar “benar secara hukum”, melainkan harus bisa diterima secara psikologis oleh masyarakat. Pada titik inilah terjadi benturan kepentingan antara Bupati Pati dengan banyak warga masyarakat.
Ancaman Survival
Ketika kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat sedang tidak baik-baik saja, setiap penambahan beban pengeluaran merupakan ancaman survival bagi mereka. Sosiolog James Scott menggambarkan kondisi itu seperti sekumpulan orang yang terendam air banjir hingga leher atas. Ada ombak kecil saja, hidung dan mulut mereka tergenang air, sulit bernapas. Dalam situasi seperti itu, yang bisa dilakukan mereka adalah menyibak ombak, melawan.
Oleh karena itu, sebelum menerbitkan kebijakan, harus ada empati, seperti apakah kondisi riil sosial ekonomi warga Pati. Kalau momentumnya memang tidak tepat, menunda adalah pilihan bijak. Jika pembangunan rumah sakit memang suatu keharusan, masih ada acara lain, misalnya, menggeser program lain yang bukan prioritas. Bisa pula menerapkan efisiensi anggaran sehingga masih ada dana untuk membangun fasilitas publik yang lebih urgen.
Drama di Pati itu akhirnya mencapai klimak setelah Bupati Sudewo membatalkan kenaikan PBB-PP dan meminta maaf kepada rakyat. Namun, kita tidak ingin blunder semacam itu terulang kembali karena akan mengganggu pelayanan publik. ***
Belajar dari Blunder Bupati Pati
