MATASEMARANG.COM – Di tengah gemerlap layar ponsel, jari-jari kita dengan cekatan menelusuri deretan produk terbaru. Scroll, klik, bayar. Hanya dalam hitungan detik, barang segera dalam perjalanan. Akan tetapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, benarkah kita membutuhkannya atau sekadar ingin memuaskan hasrat sesaat?
Tiga puluh tahun lalu, orang membeli baju baru setiap 3-6 bulan. Sekarang? Sebulan sekali pun dianggap ketinggalan zaman. Tren berganti bak kecepatan cahaya, dan kita terjebak dalam siklus beli-pakai-buang yang tak berujung.
Teknologi mempermudah segalanya—bukan hanya membeli, juga dalam berutang. Aplikasi belanja dan buy now, pay later menjerat kita dalam jerat konsumsi berlebihan. Iklan terus-menerus membisikkan frasa maut “Kamu kurang bahagia karena belum punya ini”.
Erich Fromm, psikoanalis Jerman, telah memperingatkan hal ini sejak lama. Konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan pencarian identitas. Kita membeli bukan untuk hidup, tapi untuk merasa hidup.
Kutukan Pertumbuhan Nirbatas
Di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi, ada bayangan gelap berupa eksploitasi sumber daya alam yang tak kenal ampun. Hutan ditebang, laut tercemar, dan limbah tekstil Indonesia mencapai 2,3 juta ton pada 2024.
Yang lebih mengerikan, kita merasa tidak bersalah.
Industri telah mencuci otak kita. Membuang barang yang masih layak pakai dianggap hal wajar. Food waste menjadi gaya hidup, bukan aib. Kita terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan ada di dalam kemasan produk terbaru.