Bila dulu Descartes bilang Cogito ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada), kini berubah menjadi: “Aku belanja, maka aku ada.”
Lihatlah media sosial, orang berlomba memamerkan tas limited edition, gadget terbaru, atau makanan mewah yang bahkan mereka tidak sempat menghabiskannya. Flexing (pamer) bukan lagi sekadar kebanggaan, melainkan krisis makna. Kita mengukur nilai diri dari benda-benda yang kita miliki, bukan dari laku bijak dan kebajikan atau kontribusi kita kepada dunia.
Syair lagu Price Tag oleh Jessie J: “Why is everybody so obsessed?/Money can’t buy us happiness” merupakan sindirian terhadap gaya hidup obsesif masa kini.
Frugal Living: Perlawanan Kecil yang Membawa Harapan
Akan tetapi tidak semua orang terjebak dalam pusaran ini. Sebagian memilih jalan berbeda: frugal living.
Mereka hidup sederhana, membeli secukupnya, dan memikirkan dampak setiap rupiah yang dibelanjakan. Bukan pelit, melainkan bijak. Mereka sadar bahwa sumber daya Bumi bukan hanya milik kita, melainkan juga warisan untuk cucu dan cicit.
Jika hari ini kita mengeruk habis-habisan, apa yang akan tersisa bagi generasi mendatang? Lautan sampah? Udara beracun? Atau Bumi yang makin sekarat?
Teknologi seharusnya mempermudah hidup, bukan menjadikan kita budak konsumsi.
Saatnya bertanya sebelum membeli: Apakah aku benar-benar membutuhkan ini? Berapa lama barang ini akan bertahan sebelum jadi sampah? Apa dampaknya bagi Bumi jika semua orang melakukan hal yang sama?
Kita masih punya waktu untuk berubah. Karena menjadi manusia bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa bijak kita menggunakan apa yang ada.
















