Media Tak Bisa Bertahan dengan Model Bisnis Lama

MATASEMARANG.COM – Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, terutama kecerdasan buatan (AI), media arus utama tidak dapat lagi bertahan dengan model bisnis konvensional.

“Agar tetap eksis, media harus memiliki sesuatu yang bisa dijual kepada pihak ketiga untuk menyampaikan pesan, tanpa melanggar Kode Etik Jurnalistik,” kata Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dyatmika, CEO Info Media Digital Tempo.

Paparan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Sustainability Media di Era Digital” di Studio Dream Light Kabupaten Semarang pada Rabu, 29 Oktober 2025. Diskusi ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto serta dua anggota DPRD Jawa Tengah, Tietha Ernawati Suwarto dan M. Dipa Yustia Pasa.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Guru TK, SD, dan SMP di Kendal Dilatih Koding dan Gunakan AI

Menurut Wahyu Dyatmika, yang akrab disapa Bli Komang, media arus utama tidak dapat memproduksi konten tematik yang menyesuaikan permintaan pengiklan, seperti yang dilakukan oleh influencer atau buzzer. Langkah tersebut berarti media telah melanggar kode etik, padahal dalam pengelolaan media, penting untuk menjaga “tembok api” yang memisahkan area komersial dan redaksi.

“Media arus utama harus tetap menjaga kode etik, setiap informasi harus selalu diuji kebenarannya,” ujar Totok Suryanto melalui aplikasi Zoom.

BACA JUGA  Jangan Pernah Menunda Belajar AI dan Koding

Bli Komang menambahkan, riset terbaru menunjukkan bahwa jumlah pembaca media daring (web news) terus menurun sekitar 30–50 persen. Banyak dari pembaca lama kini beralih mencari informasi langsung melalui AI. Pada saat yang sama, pengiklan berpindah ke platform global seperti Google dan Instagram. Padahal, belanja iklan di Indonesia pada tahun 2022 mencapai sekitar Rp300 triliun, tetapi sebagian besar dana tersebut mengalir ke platform digital global.

Pos terkait