Di era AI, sekitar 20–30 persen pengunjung portal berita bukanlah manusia, melainkan mesin atau bot, termasuk AI. Ia menjelaskan bahwa pengunjung dari bot ini tidak dapat menghasilkan keuntungan monetisasi.
Beberapa tahun ke depan, ia memprediksi bahwa warganet akan langsung mencari informasi melalui AI, tidak lagi melalui Google atau media arus utama. “Nantinya semua orang akan mencari di AI, yang dampaknya informasi menjadi keruh, dan orang tidak bisa membedakan hoaks dengan fakta,” katanya.
Mengutip laporan Iproov, ia menyebutkan bahwa 71 persen responden yang disurvei tidak tahu apa itu deepfake.
Menurutnya, di zaman sekarang, perlu ada ekosistem yang adil agar media tetap bisa bertahan. Platform AI seharusnya tidak bisa begitu saja mengambil informasi dari media arus utama tanpa membayar. Bagaimanapun, informasi yang penting memiliki nilai jual yang tinggi.
Selain itu, media juga harus melindungi karya jurnalistiknya agar tidak begitu saja diambil oleh AI. Jika platform AI mengambil berita, mereka harus membayar kepada media.
“Peta persoalan yang dihadapi media pada masa depan seperti itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, ekosistem media yang dibangun harus mampu melindungi karya media. Hal ini dapat diwujudkan melalui regulasi dari negara yang mendukung kelangsungan dan perkembangan media arus utama.
















