Mereka yang Tersandera Jenama dan Gaya, Bekas Pun Tak Apa

MATASEMARANG.COM – Bagi sebagian orang, jenama atau merek merupakan satu elemen penting yang bisa memberi rasa percaya diri. Keberadaannya melampaui fungsi dari benda itu sendiri. Ia menyerupai ideologi.

Oleh karena itu, di tengah tekanan ekonomi dan obsesi tampil keren di media sosial, pakaian bekas bermerek berubah menjadi jalan pintas menuju rasa percaya diri.

Fenomena thrifting pun bukan lagi sekadar berburu barang murah, melainkan usaha membeli status yang mungkin tak terjangkau jika harus membeli yang baru. Namun, ketika pasar makin riuh, sisi gelap pasokan mulai terungkap dan pemerintah pun turun tangan.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Kapan Jadwal Puasa Tarwiyah dan Arafah? Simak Niat dan Keutamaannya

Tidak ada yang tahu kapan tepatnya belanja barang bekas (thrifting) berubah dari kegiatan mencari diskonan menjadi ajang perburuan identitas. Sebuah usaha menemukan versi diri yang lebih keren lewat baju bekas orang lain.

Mungkin karena harganya ramah, mungkin karena estetika vintage sedang naik daun, atau mungkin… ya karena manusia memang selalu butuh alasan baru untuk merasa unik di tengah dunia yang serba seragam.

Apapun pemicunya, thrifting tumbuh bukan lagi sekadar tren, melainkan gaya hidup yang memberi ruang untuk sedikit berkhayal: bahwa jaket yang kita temukan itu pernah punya kehidupan yang lebih glamor dari kita.

BACA JUGA  Semarang’s Luxury Wedding Expo, Jadi One Stop Wedding Service di Jateng

Pasar pun tak kalah semangat. Semuanya seperti lomba menawarkan barang bekas berkualitas edisi langka –yang ironisnya, kadang ditemukan berderet-deret dalam bal besar seolah pabriknya masih aktif.

Di lapak-lapak kecil sampai lokapasar raksasa, thrifting menjadi panggung sosial: tempat orang mencari citra kelas atas tanpa harus berbiaya tinggi. Lalu, siapa yang bisa menyalahkan? Di era ketika tampilan sering lebih penting daripada kenyataan, baju bekas bermerek memang terasa seperti cara curang menuju “kelas sosial instan”.

Pos terkait