Mereka yang Tersandera Jenama dan Gaya, Bekas Pun Tak Apa

Georg Simmel, pemikir Jerman yang gemar membedah perilaku sosial sehari-hari, sudah lebih dulu mengingatkan bahwa fashion adalah arena tarik-menarik antara ingin berbeda dan ingin tetap dianggap keren oleh kelompoknya.

Fenomena thrifting hari ini berdiri tepat di persimpangan itu.

Kita hidup di zaman saat label di kerah bisa lebih berpengaruh daripada isi kepala. Sepotong kaus kupluk (hoodie) bekas bisa menaikkan rasa percaya diri lebih cepat daripada membaca buku self-help sebanyak lima bab.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Indosat Pecahkan Rekor MURI lewat 5.000 Puisi

Maka, ketika toko loak menawarkan barang bermerek dengan harga sepertiga, mendadak banyak orang merasa menemukan jalan pintas menuju “kelas sosial” yang selama ini hanya digulir di gawai, bukan dimiliki.

Gaya hidup pun berubah. Yang dulu malu memakai barang rombengan, kini justru bangga mengaku sebagai penikmat barang bekas –tentu sambil memilih sudut pandang foto yang paling membuatnya terlihat nyentrik tapi dompet tetap aman pada saat yang sama.

Sebuah ironi yang cantik: membeli bekas dianggap aksi cerdas, tapi alasan sebenarnya kadang cuma ingin terlihat kaya tanpa mesti menjalani proses menjadi kaya.

BACA JUGA  Jangan Anggap Sepele Kelelahan dan Berat Badan Turun Drastis

Di titik ini, thrifting bukan lagi aktivitas hemat, melainkan sarana kolektif untuk terus memoles persona. Orang memburu jaket denim tertentu bukan karena butuh, tapi karena takut ketinggalan tren. Orang memborong kemeja bermerek bukan karena cocok, tapi karena lumayan buat foto gaya hari ini (OOTD).

Pakaian yang dulunya punya fungsi, kini berubah menjadi penopang panggung, dan panggung itu bernama media sosial.

Pos terkait