Mungkinkah Mencipta Karya Bermakna Tanpa Jadi Budak Algoritma?

Media sosial
Ilustrasi. Pixabay

MATASEMARANG.COM – Algoritma hari ini menjelma menjadi penguasa dunia digital. Inilah yang menuntut para pekerja media dan kreator konten untuk tunduk pada ritmenya.

Karya tak lagi lahir dari pencarian makna, melainkan dari kejaran angka tayangan. Mungkin sudah saatnya jeda diambil, agar dalam hiruk-pikuk itu kita tak kehilangan diri sebagai manusia.

Pertanyaan retoris selanjutannya adalah mungkinkah mencipta karya tanpa harus tunduk atau jadi budak algoritma?

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Menkeu Purbaya: Rupanya Presiden "Ngikutin" Saya di TikTok

Ketika kreativitas diukur dengan algoritma, banyak yang lupa untuk mengedepankan makna dalam berkarya. Di tengah gemuruh digital, manusia semestinya tetap menjadi tuan, bukan hamba dari teknologi ciptaannya sendiri.

Era digital nyatanya telah mengubah cara manusia mencipta, berinteraksi, dan mengukur nilai dari sebuah karya.

Jika dulu karya dinilai dari kedalaman pesan atau ketulusan ekspresi, kini sering kali ukurannya ditentukan oleh tingkat keterlibatan, penayangan, dan jumlah pengikut.

Algoritma menjadi penguasa baru yang diam-diam mengatur visibilitas, menentukan apa yang patut tampil di layar, dan apa yang terbenam dalam senyap.

BACA JUGA  Cara Membuat Foto Profil Brave Pink Hero Green

Berkarya, yang awalnya demi mengekspresikan diri, perlahan bisa berubah jadi bertarung demi bertahan di mata mesin.

Dalam situasi ini, para kreator kerap terjebak pada dilema: berkarya dengan hati atau menyesuaikan diri dengan pola algoritma.

Fenomena ini selaras dengan pandangan Brooke Erin Duffy profesor madya di Departemen Komunikasi Universitas Cornell New York, AS. Dalam bukunya (Not) Getting Paid to Do What You Love (2017), ia mengemukakan bahwa banyak kreator digital bekerja di bawah tekanan ekonomi dan algoritmik.

Pos terkait