Mungkinkah Mencipta Karya Bermakna Tanpa Jadi Budak Algoritma?

Media sosial
Ilustrasi. Pixabay

Mereka memproduksi konten bukan lagi semata-mata sebagai ekspresi diri, tapi sebagai strategi bertahan di tengah kompetisi yang dikendalikan mesin.

Duffy menyebut kondisi ini sebagai bentuk kerja afektif, di mana emosi, kepribadian, dan daya tarik personal dikomodifikasi menjadi produk.

Sementara itu, terdapat teori attention economy dari ilmuan polimatik AS yang juga peneliti ilmu komputer, Herbert Simon. Dia berpendapat bahwa di era banjir informasi, perhatian manusia adalah sumber daya langka. Setiap unggahan di media sosial berkompetisi memperebutkan atensi audiens. Akibatnya, banyak kreator merasa harus terus hadir dan tampil mencolok agar tidak tenggelam di linimasa.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Menkeu Purbaya: Rupanya Presiden "Ngikutin" Saya di TikTok

Tekanan inilah yang perlahan mengikis makna sejati dalam proses berkarya, di mana kualitas dan pesan humanistik sering tersingkir oleh formula viralitas.

Padahal sejatinya, algoritma hanyalah sistem buatan manusia. Ia bisa diakali dan tidak seharusnya diibadahi. Tantangan terbesar bagi pekerja media dan kreator masa kini bukan sekadar menguasai permainan digital, melainkan menjaga agar kreativitas tetap berakar pada nilai dan kejujuran.

Sebab karya yang lahir dari kesadaran dan makna akan selalu menemukan jalannya, bahkan tanpa bantuan algoritma.

BACA JUGA  Wali Kota Semarang Minta Jajarannya Maksimalkan Media Sosial untuk Sebarkan Informasi Pemerintahan

Nirjeda

Di jagat maya, setiap unggahan adalah tiket menuju perhatian. Para kreator konten kini hidup dalam lanskap yang kian riuh. Jeda sehari tanpa unggahan bisa berarti terlempar dari perbincangan.

Di layar yang tampak gemerlap, mereka bukan sekadar pemain, melainkan petarung yang setiap hari berlomba menaklukkan algoritma, menjaga eksistensi, dan memenuhi dahaga audiens yang tak pernah puas.

Pos terkait