Mungkinkah Mencipta Karya Bermakna Tanpa Jadi Budak Algoritma?

Media sosial
Ilustrasi. Pixabay

Namun, di balik tawa dan gaya santai yang tersaji di konten, tersimpan beban yang tak ringan. Kamera yang seolah menjadi sahabat, perlahan menjelma pengawas. Setiap sorotnya menuntut performa sempurna, setiap klik komentar bisa memantik gelisah.

Kreativitas yang semula lahir dari kebebasan, kini, sering dikurung oleh kebutuhan untuk tetap relevan. Tak heran, banyak yang akhirnya terjebak dalam rutinitas produksi tanpa ruang jeda;  kreatif tapi kelelahan, populer tapi kehilangan makna.

Di titik inilah, dunia digital menunjukkan paradoksnya: ruang yang semula menjanjikan kebebasan berekspresi justru menciptakan tekanan baru.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  Algoritma Platform Transportasi Bikin Ojol Kelelahan dan Cemas

Algoritma mengatur siapa yang layak terlihat, siapa yang tenggelam di arus. Bagi kreator, bertahan berarti menyesuaikan diri dengan ritme mesin; bukan lagi perkara berkarya, akan tetapi soal bertahan hidup di linimasa.

Fenomena ini tak hanya menimpa para kreator individu. Media massa pun kini ikut terjebak dalam arus yang sama, menyusun tajuk dan memilih berita berdasarkan selera algoritma, bukan semata kepentingan publik.

Kehidupan di dunia digital sering kali menyerupai panggung tanpa tirai. Pertunjukan tak pernah benar-benar usai. Para kreator dituntut untuk terus tampil, bahkan ketika ide menipis dan semangat meredup.

BACA JUGA  Belajar dari Blunder Bupati Pati

Dalam kejaran ritme algoritma yang tak mengenal belas kasihan, jeda menjadi kemewahan, dan diam terasa seperti dosa.

Tekanan serupa juga dialami redaksi media yang berkejaran dengan klik, impresi, dan topik terkini. Jurnalisme yang seharusnya menjadi ruang pencarian makna, perlahan digiring menjadi industri perhatian.

Pos terkait