Mungkinkah Mencipta Karya Bermakna Tanpa Jadi Budak Algoritma?

Media sosial
Ilustrasi. Pixabay

Pada titik ini, banyak dari mereka mulai kehilangan arah: berkarya bukan lagi karena dorongan hati, melainkan oleh sebab tekanan untuk “tetap ada”.

Setiap unggahan menjadi semacam taruhan, antara relevansi dan kehilangan audiens, antara eksistensi dan kelelahan.

Rasa cemas akan keterlambatan posting atau penurunan engagement menjelma jadi beban psikis yang nyata. Di sisi lain, keheningan digital sering dianggap kegagalan, padahal bisa jadi itu adalah bentuk perawatan diri.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA  DP3AP2KB Jateng Imbau Media Tak Ekspos Wajah Anak dan Keluarga

Gejala kewalahan ekstrem (burnout) di kalangan pekerja media dan kreator konten bukan hal baru. Mereka yang tampak bersinar di linimasa kerap memendam letih yang panjang.

Karena setiap hari harus memikirkan judul yang memancing klik, durasi yang disukai algoritma, retensi penonton, jam tayang ideal. Bukan lagi soal “ingin bercerita”, tapi bagaimana caranya “tetap terlihat”.

Riset American Psychological Association (APA) menyebutkan, tekanan kerja di industri kreatif digital bisa memicu gejala depresi dan kelelahan emosional yang serupa dengan profesi berisiko tinggi.

BACA JUGA  'Rojali' dan 'Rohana' Akronim Jenaka Pemotret Daya Beli Cekak

Ironisnya, sebagian besar tak menyadari bahwa mereka sedang sakit, karena lelah di dunia maya sering kali ditutupi dengan senyum dan filter estetis.

Menjadi Manusia

Di tengah derasnya arus digital yang menuntut kecepatan, manusia kerap kehilangan jeda untuk menimbang makna.

Kreator berlomba menembus linimasa, media massa mengejar klik dan impresi, sementara penonton tenggelam dalam pusaran konten tanpa sempat merenung.

Namun sejatinya, teknologi bukanlah musuh; ia hanyalah cermin yang memantulkan sisi paling ambisius dari diri kita.

Pos terkait