Kita bisa memilih untuk tetap menjadi manusia, bukan sekadar akun dengan angka tayangan. Sebab karya yang bertahan bukanlah yang viral sesaat, melainkan yang meninggalkan gema dalam hati pembacanya. Karya yang lahir dari kejujuran, bukan dari strategi algoritma.
Mungkin sesekali kita perlu berhenti mengejar engagement, untuk kembali menulis, memotret, atau berbicara dengan nurani. Menemukan lagi alasan awal mengapa kita berkarya: bukan demi perhatian, tetapi demi menyentuh kehidupan.
Popularitas bisa menua, tetapi makna akan selalu hidup. Di tengah riuh algoritma, biarlah karya-karya kecil yang tulus tetap menjadi pelita, sederhana tapi menerangi.
Menjadi kreator, sejati bukanlah tentang seberapa sering tampil di layar, melainkan seberapa dalam jejak yang tertinggal setelah layar padam.
Pada akhirnya, bila sengitnya kompetisi di dunia digital hanya berujung pada perkara penghasilan dan cuan, percayalah, rezeki tak pernah tertukar, sebab ada Yang Maha Mengatur. Jadi, jangan biarkan diri tenggelam dalam perlombaan hingga lupa menjadi manusia.
















