MATASEMARANG.COM – Dalam sepekan terakhir ini ada dua akronim yang menjadi perbincangan ramai banyak orang.
Dua akronim itu adalah “rojali” dan “rohana”. Ini bukan nama orang, melainkan akronim dari rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana).
Meski saat ini banyak orang didera kesulitan finansial, itu bukan berarti mereka malas pergi ke pusat perbelanjaan. Hanya saja, mereka ke mal atau toko serbaada bukan untuk membeli, melainkan hanya melihat-melihat: window shoping.
Istilah window shoping memang sudah lama ada, namun belum mendapatkan padanan yang jitu. Nah, rojali dan rohana ini bisa jadi sebagai akronim yang cukup presisi untuk menggantikan kosa kata asing itu.
Kedua kata itu memang terdengar akrab di telinga orang Indonesia karena–dulu– banyak orang tua menamai anaknya dengan salah satu dari dua kata itu.
Lantas rojali dan rohana itu memotret fenomena apa? Yang jelas, di tengah kesulitan finansial seperti saat ini, bangsa Indonesia tidak kehilangan sentuhan humornya. Budayawan Mochtar Lubis pun menyebut salah satu ciri manusia Indonesia adalah berjiwa seni.
Lalu bagaimana analisis ekonom atas fenomena rojali dan rohana?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyoroti sejumlah faktor bertambahnya rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya).
Faisal menilai faktor utama dari adanya rojali dan rohana adalah kondisi finansial masyarakat.
Beberapa di dalamnya meliputi uang yang makin sulit untuk ditabung, lesunya daya beli, hingga pinjaman dana yang makin mudah untuk diakses tapi berat untuk diselesaikan tanggung jawabnya.
Lihatlah bunga tabungan yang mengalami penurunan. Penjualan barang ritel juga turun di triwulan kedua daripada triwulan satu. Sementara itu, pinjaman malah meningkat terutama melalui fintech lending.
Ini, kata Faisal, menunjukkan kemampuan finansial mereka saat ini memang terbatas. ***
‘Rojali’ dan ‘Rohana’ Akronim Jenaka Pemotret Daya Beli Cekak
