MATASEMARANG.COM – Guru Besar Fakultas Hukum UGM Profesor Hartini mengusulkan penerapan sistem perceraian tidak berdasarkan kesalahan. Tujuannya untuk mengurangi meluasnya dampak konflik dalam proses perceraian di Indonesia.
“Ini bukan untuk memudahkan perceraian, tetapi agar perceraian tidak menjadi ajang membuka aib dan saling menyalahkan,” ujar Hartini saat dihubungi di Yogyakarta, Rabu.
Usulan itu sebelumnya pernah ia sampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ranting Ilmu/Kepakaran Penyelesaian Perkara Bidang Hukum Islam di Balai Senat UGM, Kamis (30/10).
Hartini mengatakan selama ini Indonesia lebih condong menganut sistem perceraian berbasis kesalahan, yang menekankan pembuktian siapa pihak yang bersalah dalam keretakan rumah tangga, termasuk dalam praktik di peradilan agama.
Menurut dia, modifikasi sistem perceraian itu dapat diterapkan tanpa merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya.
Ketentuan mengenai perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 telah memberi ruang untuk menerapkan model perceraian tanpa kesalahan karena tidak menunjuk salah satu pihak sebagai penyebab.
“Ini pintu masuk bagi Indonesia untuk mengakomodasi perceraian dengan tidak berbasis kesalahan,” katanya.
Fokus pemeriksaan perkara dalam perceraian, menurut dia, semestinya diarahkan pada kondisi perkawinan, bukan pada pencarian pihak yang bersalah.
“Tujuan pembuktiannya difokuskan kepada apakah perkawinan ini sudah betul-betul pecah atau belum,” katanya.
















