Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal oleh MK Dinilai Paradoks

Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin. ANTARA/HO-DPR

MATASEMARNG.COM – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional dengan jeda waktu 2,5 tahun, bersifat paradoks.

Dia mengatakan bahwa sebelumnya MK telah memberi enam opsi model keserentakan pemilu, tetapi putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan. MK, kata dia, seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.

BACA JUGA  Polisi Asal Cilacap Juarai "Mas Jawa Tengah 2025"

“UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” kata Khozin di Jakarta, Jumat.

Bacaan Lainnya

Apalagi dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019, menurut dia, secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

BACA JUGA  Prabowo: Pengusaha Serakah Itu Mirip Vampir, Mengisap Darah Rakyat

“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” katanya.

Dia pun menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

“Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” katanya.

Pos terkait