Biarkan Rakyat Memilih Langsung Kepala Daerah

DPRD
Arsip. Pelantikan anggota DPRD Jawa Tengah periode 2019-2024. ANTARA

MATASEMARANG.COM – Obsesi mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD tampaknya tidak surut. Terakhir datang dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Tito menyebut pemerintah sedang menghitung baik dan buruknya pilkada langsung dan pilkada lewat DPRD.

Kali ini, pijakan yang digunakan untuk pilkada lewat DPRD bersumber dari Pasal 8 ayat (4) UUD 1945 yang menyebut gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Ini berarti kepala daerah tidak harus dipilih rakyat secara langsung, tetapi bisa lewat wakil-wakil rakyat di DPRD.

Padahal Mahkamah Konstitusi sudah menyebutkan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu daerah yang diselenggaraan secara langsung bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisaha pemilu nasional dan lokal memperkuat landasan bahwa pilkada dilakukan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat.

Putusan MK tentu saja bersifat final dan mengikat. Persoalannya, mengapa masih ada politikus, bahkan pemerintah sendiri—dalam hal ini Mendagri—tetap ingin DPRD memilih langsung kepala daerah?

Alasan klasik yang selalu diulang-ulang adalah pilkada menelan biaya besar, rawan gesekan horisontal, hingga pelaksanaannya butuh waktu lama. Sekadar catatan, biaya penyelenggaraan pilkada serentak 2024 sekitar Rp41 triliun. Adapun persiapan hingga pelantikan calon terpilih lebih dari 1 tahun.

Kita tidak tahu persis di balik dalih rencana mengubah sistem pilkada itu. Apakah semata dua alasan pragmatis tersebut atau ada pertimbangan lain. Namun, politik praktis kerap menyembunyikan agenda lain yang tidak selalu disuguhkan di panggung terbuka.

Salah satu kemungkinan itu adalah memperbesar kekuasaan partai politik. Parpol tidak lagi sekadar kendaraan politik bagi calon kepala daerah lalu menyerahkan pilihannya langsung kepada rakyat, tetapi mereka sendiri yang memilih. Dengan demikian, kendali kepala daerah nyaris sepenuhnya berada di (elite-elite) parpol, tertama selama gubernur, wali kota, dan bupati menjabat.

Seharusnya, pemerintah dan politikus mendorong mutu penyelenggaraan pilkada yang lebih bersih dan demokratis. Dengan demikian biaya besar pilkada yang dikeluarkan oleh negara sepadan dengaan kualitas kepala daerah terpilih.

Politik uang dengan menyuap langsung pemilih yang kian marak dari pilkada ke pilkada, seharusnya dilenyapkan dengan membangun sistem yang lebih akuntabel sekaligus memperkuat sisi penegakan hukumnya. Meski praktik politik uang merebak di berbagai daerah, amat sedikit yang diikuti dengan penegakan hukum kendati aturan sudah lengkap untuk memidanakan para pelaku.

Pendidikan politik berkelanjutan—partai politik punya tanggung jawab besar di dalamnya—menjadi keniscayaan demi perbaikan mutu demokrasi. Dalam proses ini, kita menaruh harapan besar kepada parpol dan peserta pilkada menyudahi “serangan fajar”, “bagi-bagi bansos”, dan praktik-praktik politik uang sejenisnya dalam pilkada langsung.

Nyaris mustahil bisa melahirkan pemimpin yang bersih dan cakap dari proses politik yang keruh dan pemilihnya lahap akan suap. ***

BACA JUGA  Para Kepala Daerah Resah atas Pemotongan TKD, Mensesneg Angkat Bicara

Pos terkait