Kelas Menengah yang Terengah-engah

Pekerja tuntut kenaikan UMP
ilustrasi. Pekerja tuntut kenaikan UMP. ANTARA

MATASEMARANG.COM – Kelas menengah Indonesia, yang selama ini menjadi pilar penting mesin pertumbuhan ekonomi, saat ini menghadapi masa sulit. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Yang tercatat resmi sekitar 70 ribu pekerja dirumahkan. Namun, jumlah riilnya pasti jauh lebih besar.

Ketidakpastian global, kebijakan protektif sejumlah negara maju, termasuk Amerika Serikat, bakal memukul lebih dalam perekonomian Indonesia. Di sisi sama, penciptaan lapangan kerja juga tidak sebanyak seperti yang dijanjikan. Lihatlah setiap perusahaan buka lowongam kerja. Yang dibutuhkan 50 pekerja, yang antre mendaftar langsung mencapai ribuan.

Di sisi sama, industri domestik tidak kunjung siuman dari tekanan akibat permintaan global yang merosot dan menurunnya daya beli konsumen dalam negeri.

Bank Dunia (2023) menyebut kelas menengah Indonesia menyumbang 55–60 persen konsumsi domestik. Mereka menjadi tulang punggung UMKM dan mendorong investasi.

Namun, tekanan ekonomi seperti inflasi tinggi, PHK massal, dan beban utang membuat banyak dari mereka terancam turun kelas.

Dengan tekanan dari segala penjuru, saat ini napas mereka memang terengah-terengah. Bertahan sekuatnya menghadapi kebutuhan harian dengan pendapatan pas-pasan, bahkan tidak menentu.

Sementara itu, kebijakan pemerintah lebih banyak berfokus pada bantuan sosial untuk masyarakat miskin, seperti BLT, subsidi energi, dan bansos tunai.

BACA JUGA  Kaum Medioker yang Kian “Klenger”

Saatnya Pemerintah Memperhatikan
Padahal, kelas menengah yang terjun ke bawah justru akan memperburuk ketimpangan dan melemahkan ekonomi. Memang pada tahun ini pemerintah mengucurkan bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja kelas menengah bawah. Namun, besarannya hanya cukup untuk menutup kenaikan harga berbagai kebutuhan rumah tangga.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memberi perhatian lebih kepada kelas menengah. Pemerintah , misalnya, bisa memberikan keringanan pajak kendaraan bermotor bagi pengemudi ojek daring. Memberi diskon tarif listrik rumah tangga dengan daya 450–900 kVA.

Berpenghasilan Pas-pasan
Meski menyandang kelas menengah, mereka sesungguhnya rentan terpuruk. Padahal jumlah mereka sangat banyak. Sekitar 52–60 juta orang Indonesia termasuk kelas menengah (BPS, 2023). Akan tetapi 30 persen di antaranya hanya berpenghasilan pas-pasan, Rp2,4–Rp6 juta/bulan.

Sesungguhnya kontribusi ekonomi mereka cukup besar, tapi minim perlindungan. Mereka menyumbang 70 persen belanja ritel dan properti.

Namun, hanya 28 persen pekerja kelas menengah yang memiliki BPJS Ketenagakerjaan karena banyak yang bekerja di sektor informal.

Padahal, jika mereka turun kelas, dampaknya besar. Penurunan konsumsi kelas menengah bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga “menelan” porsi 55 persen dari PDB. Krisis kelas menengah juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial.

Oleh karena itu, Pemerintah harus seimbang menyusun kebijakan dengan memperkuat kelas menengah tanpa mengabaikan kelas bawah. ***



BACA JUGA  Jateng Punya "Hotline" Aduan Soal MBG, Catat Nomornya

Pos terkait